Gejala kejanggalan atas ketidakmampuan berjalannya mekanisme pasar secara sempurna mulai dirasakan saat gelombang siklus bisnis internasional menggeliat tak beraturan, antara lain dengan gejolak peningkatan harga minyak bumi di atas 100 US dollar. Kemudian terekam juga keanehan dengan meningkatnya harga-harga komoditi internasional seperti CPO, barang tambang dan barang hasil pertanian, yang diminati oleh para pelaku peternak uang skala internasional. Mereka ini semua memburu komoditi non-moneter, karena melemahnya nilai mata uang US dollar yang dipuja-puja sebagai “ benchmark” dalam pola pertukaran barang dan jasa internasional. Dengan terdepresiasinya nilai mata uang US dollar, kegiatan perdagangan internasional kemudian mengarah pada perburuan barang dagangan, yang dikategorikan sebagai komiditi non-meneter yang “likuid” — menggantikan peran mata uang US dollar tersebut. Kejadian ini telah berlangsung dengan demikian cepat, karena dibantu oleh kemudahan-kemudahan pasar komoditi berjangka dan upaya memobilisasi dana internasional untuk tujuan spekulasi. Stok pundi-pundi dana swasta internasional ini sebagian juga dibelanjakan pada produk-produk saham dan obligasi di pasar emerging.
Nah, ceritanya keudian menjadi lucu karena oleh sementara pembuat kebijakan Pemerintah, para pakar ekonomi dan para proponen perdagangan internasional yang bebas di tanah air, booming pasar modal Indonesia yang terjadi sejak awal tahun 2007 sampai dengan awal tahun 2008, mereka anggap sebagai daya tarik tersendiri dari keberadaan kekuatan perekonomian nasional Indonesia. Padahal murid-murid pasca sarjanapun (seperti di MMUI), akan mengerti benar bahwa peristiwa masuknya arus modal panas ke Bursa Efek Jakarta (BEJ), yang kemudian berganti nama dengan BEI, disebabkan oleh longgarnya peraturan para pengelola BEI dan perbedaan spread tingkat bunga.
Otomatis saat itupun, dilihat dari perpektif konsep ekonomi “Bak Mandi”, cadangan moneter Indonesia dalam bentuk devisa naik berkali-kali lipat. Rupiahpun ikut terkatrol yang secara semu menyebabkan proses menguat nya nilai tukar Rupiah mendekati angka Ro 9200. Tetapi setelah diamati beberapa bulan kemudian, ternyata peningkatan kapitalisasi pasar modal BEI tidak dibarengi dengan adanya peningkatan kapasitas terpasang produksi domestik kita. Terjadilah apa yang disebut “bubble economy” di capital market. Artinya, para emitenpun sebenarnya sadar bahwa peningkatan angka indeks umum saham hanyalah merupakan fatamorgana, yaitu mimpi di siang hari bolong. Kapanpun uang panas ini yang ditanam investor asing di tanah air, dapat mereka tarik kembali. Kesimpulannya, lalulintas uang masuk ke sistem bak mandi perekonomian Indonesia, telah digunakan untuk tujuan meraup keuntungan “capital gain” secara cepat. Dan proses ini dipermudah oleh pengelola Bursa karena tidak dilakukannya tindakan keras atau penalty keberadaan kasus-kasus saham gorengan dan perbuatan tak terpuji dari kegiatan “short selling”.
Sebenarnya daya tahan perekonomian Indonesia sejak kenaikkan harga minyak bumi mendekati 140 US dollar sudah mulai mengendur. Hal ini terbukti dengan ketidak mampuan Pemerintah mempertahankan subsidi minyak bumi. Struktur APBN kitapun seakan menguat yang sebenarnya terselamatkan oleh dikeluarkannya surat hutang obligasi mata uang Republik. Nah jika kita keluarkan posisi cadangan uang panas ini dari neraca moneter Bank Indonesia, maka mata uang kita seharusnya sudah melemah saat kenaikkan harga minyak bumi tersebut. Ditambah dengan gonjang-ganjing politik atas jabatan empuk Gubernur BI kemarin ini telah memperlambat upaya mengantisipasi kemungkinan larinya uang panas dari perekonomian Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar