Clock

Rabu, 13 April 2011

TULISAN 29

Di akhir bulan Nopember ini kalangan pebisnis di Indonesia sempat dibuat tercengang oleh keputusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) yang mevonis Temasek Holdings yang diduga telah melanggar aturan persaingan tidak sehat karena telah memiliki saham secara silang di Indosat dan Telkomsel. Silang pendapatpun bermunculan, yang kemudian mengerucut pada dua kubu: yang “pro” pada keputusan otoritas KPUU dan yang “kontra” dengan berbagai keberatan atas landasan pemikiran dan alasan ditetapkannya keputusan tersebut.
KPPU berdalih bahwa kepemilikan silang perusahaan Temasek Holdings Ltd. pada kedua perusahaan tersebut mengakibatkan terbentuknya “kekuatan monopoli” karena konsentrasi pasar yang melebihi 80 persen pada bisnis telpon selular. Ulasan khusus yang disajikan oleh Majalah Tempo (edisi 26 Nov – 2 Des 2007) memaparkan dampak lebih lanjut atas dugaan kedudukan monopoli ini pada kerugian konsumen pemakai jasa selular antara Rp 14,3 triliun hingga Rp 30,8 triliun selama kurun waktu 2003-2006. Jika keputusan ini nantinya memiliki kekuatan hukum yang tetap, jumlah tersebut tentunya merupakan jumlah kerugian pada pihak konsumen yang cukup besar untuk satu jenis kegiatan usaha.
Bahkan menurut KPPU, sebagai lembaga yang diberikan kuasa oleh negara untuk menjaga dan memonitor Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli di Indonesia, imperium perusahaan milik Pemerintah Singapura ini dituding telah melakukan beberapa perilaku kegiatan usaha yang “kurang sehat”. Menurutnya, perusahaan tersebut diterangai telah melakukan 4 kesalahan: masing-masing (a) Kekuatan perusahaanTelkomsel dalam mempengaruhi harga di industri selular, (b) Penetapan harga tarif percakapan Telkomsel yang kelewat mahal, (c) Kebijakan pimpinan perusahaan Indosat yang memperlambat penambahan menara BTS Indosat, dan (d) Tingkat keuntungan yang kelewat tinggi. Semua perilaku perusahaan Indosat dan Telkomsel ini akhirnya diduga mengakibatkan laba bersih perusahaan Telkomsel yang melonjak drastis dari Rp 2,79 triliun menjadi Rp 9,71 triliun pada akhir Juni 2007.
Kontroversi kemudian muncul dengan berbagai alasan yang diutarakan oleh mereka yang temasuk pada kubu yang mengkritik atau menolak keputusan KPPU. Suara yang paling vokal telah dilontarkan oleh Pande Radja Silalahi pada Majalah Trust (Edisi 26 Nov- 2 Des 2007), yang menurutnya vonis KPPU tadi merupakan suatu keputusan yang salah fatal. KPPU yang seharusnya berposisi sebagai wasit tetapi justru turut bermain dalam proses penyelesaian masalah, yaitu dengan menetapkan kewajiban penurunan harga jual Telkomsel sebanyak 15% dan keharusan bagi perusahaan Temasek menjual kembali saham yang dimilikinya maksimal 5% kepada calon pembeli. Bersuara sama dengan apa yang juga dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis, KPPU dituding kurang mampu memberikan landasan hukum yang kuat dalam keputusannya tersebut.
Memang menarik landasan argumentasi oleh kedua kubu, yang menurut pengamatan penulis memiliki tingkat kebenarannya masing-masing. Namun, bukan maksud penulis untuk mengupasnya lebih mendalam ranah sengketa hukum yang pelik ini, mengingat secara historis dan konsepsual pelaksanaan pengawasan kekuatan monopoli pasar memang mengandung berbagai permasalahan, sehingga efektifitas pengendaliannya sulit diterapkan secara “proper” dan diterima secara aklamasi oleh para pelaku bisnis umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar